Friday , October 9 2020
Beranda / Berita / Kontroversi Penggunaan ‘Bitcoin’
deras.co.id

Kontroversi Penggunaan ‘Bitcoin’

Para ulama di Turki, Arab Saudi, dan Mesir, sepakat untuk melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi dan perdagangan.

Alasannya, karena mata uang kripto atau cryptocurrency ini mirip perjudian dan merupakan jembatan bagi pelaku kejahatan seperti pencucian uang atau perdagangan narkoba.

Negara lainnya seperti Bangladesh, Bolivia, dan Maroko, juga mengikuti jejak dengan mengeluarkan larangan formal untuk perdagangan Bitcoin.

Salah satu argumen utama melarang Bitcoin adalah karena tingginya tingkat risiko (maisir) dan ketidakpastian (gharar) serta kurangnya penyediaan aset riil dan jaminan negara.

Maisir dan gharar dilarang oleh hukum Islam dan mensyaratkan mata uang untuk berwujud atau memiliki bukti eksistensi.

Islam juga melarang penggunaan uang yang terkait dengan utang serta melarang pembebanan dan keuntungan dari bunga yang dibayarkan atas pinjaman.

Namun, Penasihat Keuangan dan Ekonomi Syariah dari Dewan Mufti Rusia, Madina Kalimullina, memiliki pandangan berbeda terhadap Bitcoin.

Ia mengatakan bahwa berdasarkan karakteristik mata uang kripto, ‘koin’ dapat dikatakan halal apabila memenuhi standar hukum Islam.

“Memang, saat ini belum. Namun, dalam perspektif dua atau tiga tahun lagi, mata uang kripto bisa dikembangkan,” kata Kalimullina, dikutip situs Russia Today, Jumat, 5 Januari 2018.

Kalimullina juga mengatakan, transaksi Bitcoin telah dibuka di beberapa negara Muslim. Negara pertama di Timur Tengah yang membuka adalah Uni Emirat Arab dengan BitOasis.

Di Asia Tenggara, Indonesia dengan Bitcoin dan Malaysia melalui Coinbox juga menawarkan layanan yang terkait dengan cryptocurrency.

Bank Indonesia resmi melarang transaksi pembayaran menggunakan virtual currency mulai dari Ethereum hingga Bitcoin mulai 2018, karena bukan mata uang resmi di Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia Agus Dermawan Wintarto Martowardojo menjelaskan kalau dalam waktu dekat beleid tersebut akan dikeluarkan.

Namun, pihaknya sudah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang isinya secara eksplisit melarang penyelenggara teknologi finansial (fintech) dan e-commerce, serta penyelenggara jasa sistem pembayaran menggunakan dan memproses virtual currency.

“Hal ini untuk mencegah pencucian uang, pendanaan terorisme dan menjaga kedaulatan Rupiah sebagai legal tender di NKRI,” kata Agus Marto.

Awalnya, pada 2014, ia bercerita bahwa sebenarnya BI sudah mengeluarkan pernyataan resmi terkait cryptocurrency ini, di mana mata uang virtual yang tidak memiliki legal tender tidak sah di NKRI, maka diberlakukan sebagai komoditas.

Selang dua tahun kemudian, tepatnya 2016, bank sentral mengeluarkan PBI Nomor 18/40/PBI/2016 yang mencantumkan secara eksplisit melarang transaksi pembayaran untuk transaksi mendukung cryptocurrency dalam hal ini transaksi pembelian atau penjualan.

Penegasan tersebut, Agus Marto mengungkapkan, adalah untuk mencegah peluang arbitrase, praktik bisnis tak sehat, dan pengendalian bisnis oleh pihak-pihak di luar jangkauan hukum NKRI yang dapat merusak struktur industri.

Ia mengatakan BI akan mengeluarkan aturan bagi pelaku fintech, termasuk e-commerce, agar melaksanakan prinsip kehati-hatian, menjaga persaingan usaha, pengendalian risiko, dan perlindungan konsumen.

Tahun lalu, tepatnya awal Desember, bank sentral menegaskan kembali pelarangan fintech dan e-commerce untuk melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan mata uang virtual melalui PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelanggaraan teknologi Financial.

“Kami mewajibkan seluruh penggiat fintech yang bergerak di sistem pembayaran untuk mendaftarkan diri ke Bank Indonesia, melaporkan kegiatan, dan melakukan uji coba dalam Regulatory Sandbox. Kami juga akan berkolaborasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” jelas dia.

Tak hanya BI dan OJK, namun Majelis Ulama Indonesia juga mengimbau kepada umat Islam untuk tidak berinvestasi Bitcoin.

Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis mengatakan, meski belum mengeluarkan fatwa namun ia mewanti-wanti dalam bertransaksi mata uang virtual.

“Sebelum ada fatwa resmi umat Islam harus berhati-hati. Jangan sembarang investasi karena lebih banyak berpotensi gharar (tipuan),” tuturnya.

Pada kesempatan terpisah, pengamat teknologi informasi Onno W Purbo menilai, sejauh pengetahuannya bahwa yang dilarang di Indonesia adalah melakukan transaksi dengan mata uang selain Rupiah.

“Ini lebih kepada masalah kedaulatan. Kita tidak boleh bertransaksi dengan dolar AS maupun Yen atau mata uang asing lainnya di Indonesia. Ini benar. Tapi, bukan berarti kita tidak boleh memilikinya kan?” ungkapnya.

Mengenai pandangannya terhadap fatwa haram Bitcoin di sejumlah negara seperti Mesir dan Arab Saudi, ia memiliki analogi sebagai berikut.

“Saya bukan ahli agama. Kalau menurut yang saya pahami adalah yang haram itu judi, konsumsi alkohol, makan babi, riba, berpakaian yang tidak pantas serta musyrik. Nah, Bitcoin tidak masuk ke semua segmen yang saya sebutkan. Jadi, saya bingung kalau (Bitcoin) dikatakan haram,” kata dia, menegaskan.

Sumber: viva.co.id

Baca Juga

deras.co.id

Liput Demo Omnibus Law, 2 Jurnalis CNN Indonesia Diserang Oknum Polisi

Jakarta, CNNIndonesia.com melaporkan pemukulan serta intimidasi terhadap dua jurnalis mereka yang meliput demo penolakan omnibus …