Friday , October 30 2020
Beranda / Berita / “Big Boss” Cina Akan Ke Indonesia, Antara Tenaga Kerja, Ekonomi dan Investasi
deras.co.id
Presiden Joko Widodo dan PM China Li Keqiang saat di Beijing pada Maret 2015. (Foto: Feng Li - Pool)

“Big Boss” Cina Akan Ke Indonesia, Antara Tenaga Kerja, Ekonomi dan Investasi

Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Senin (07/05), guna membahas kerja sama ekonomi dan investasi.

Beberapa pihak menganggap investasi Cina mampu mendongkrak ekonomi Indonesia, namun kekhawatiran membanjirnya tenaga kerja dari Cina tampakya akan dimanfaatkan sebagai bahan politik jelang Pilpres 2019.

Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, dijadwalkan bertemu dengan Presiden Jokowi sebagai balasan dari kunjungan Presiden Jokowi ke Cina tahun lalu. Pembicaraan mereka apalagi kalau bukan urusan dagang mengingat kerja sama ekonomi antar kedua negara semakin erat selama beberapa tahun terakhir.

Apalagi, di tengah kondisi ekonomi global yang masih melesu, Cina tampil sebagai kekuatan ekonomi baru.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bukan berarti Indonesia bisa didikte.

“Namun demikian, yang perlu digaris bawahi adalah di dalam mengembangkan hubungan, sebuah hubungan itu sifatnya bukan . Tetapi kita selalu ingin mengembangkan hubungan yang hasilnya adalah (menang-menang). Itu yang selalu ditekankan Presiden,” ujar Retno kepada media, akhir pekan lalu.

Akan tetapi, Anggota Komisi VII DPR yang membidangi urusan perdagangan dan investasi dari Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas menegaskan eratnya hubungan dagang antara Cina dan Indonesia berbanding lurus dengan membludaknya jumlah tenaga kerja asing asal Cina di Indonesia.

Dia menuntut agar pemerintah lebih protektif terhadap tenaga kerja lokal.

“Kalau kita tidak protektif akan berbahaya, karena rata-rata pinjaman dari Cina itu klausul perjanjiannya menyertakan tenaga kerja Cina untuk masuk ke Indonesia. Itu akan sangat berbahaya buat kelangsungan tenaga kerja di Indonesia,” ujar Supratman.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, memandang isu membludaknya tenaga kerja Cina hanya sebagai gertakan untuk menggoyang pemerintah yang dinilai mulai merapat ke Cina.

“Fakta-fakta yang tersedia sejauh ini sama sekali jauh panggang dari api, kalau kita bicara sudah terjadi perubahan dramatis dalam kebijakan politik maupun ekonomi luar negeri Indonesia,” tegasnya.

Investor terbesar keempat, TKA paling banyak

Merujuk pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Cina menduduki peringkat keempat dengan realisasi investasi terbesar di Indonesia senilai sekitar Rp 47 triliun pada tahun 2017, tumbuh 27% ketimbang tahun sebelumnya.

Di lapangan, kekuatan investasi dari Cina dapat dirasakan para pebisnis, seperti dituturkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Anton J Supit.

“Saat ini yang punya kemampuan investasi dalam skala besar, ya memang Cina,”

“Cuma kembali lagi, kita harus memikirkan kepentingan nasional kita, bukan hanya lapangan pekerjaan, tetapi jangan sampai juga kita terlalu over sehingga timbul masalah politik,” imbuhnya.

Berbeda dengan nilai investasinya yang hanya ada di posisi keempat, jumlah pekerja asing asal Cina di Indonesia justru menempati urutan pertama.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja asing asal Cina hingga 2017 mencapai 24.804 orang, jumlah ini rata-rata terus meningkat sejak 2007 yang saat itu jumlahnya baru 4.301 orang.

Sementara Singapura yang jumlah realisasi investasinya paling banyak di Indonesia, jumlah pekerjanya pada tahun lalu hanya 1.915 orang, Jepang sebanyak 13.540 orang, dan pekerja dari Korea Selatan 9.521 orang.

Bagaimana bisa terjadi?

Menurut Anton, kedatangan tenaga kerja asal Cina seiring berbarengan dengan dibukanya investasi-investasi baru asal negeri tirai bambu itu.

“Mereka ini datang dengan investasi yang belakangan ini muncul,” ujar dia.

“Kalau (investasi baru) tentunya ada hal yang mau dia ingin bawa dari negaranya, di (posisi kunci) yang menyangkut teknis dan kehidupan industrinya itu, dalam artian, supaya (berjalan lancar ” tuturnya kemudian.

Anggota parlemen dari Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan di Morowali, Sulawesi Tengah, membanjirnya tenaga kerja asing Cina ini sudah menggejala dan mulai menimbulkan dampak sosial.

“Itu bisa menimbulkan ledakan tak terduga di kemudian hari. Ini yang menurut saya tidak diantisipasi oleh pemerintah Indonesia.”

“Partai Gerindra selaku partai oposisi selalu mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati terhadap investasi-investasi yang memiliki ikatan khusus,” jelas Supratman.

Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan dalam bidang investasi, terdapat empat poin yang akan dibahas pada pertemuan Perdana Menteri Li dan Presiden Jokowi, mulai dari teknologi hingga lingkungan.

“Pertama . Kedua, masalah hulu hilir, agar -nya dapat dinikmati oleh Indonesia. Ketiga adalah penggunaan tenaga kerja. Keempat, menjaga lingkungan,” ucap Retno.

Retno berharap investasi-investasi yang masuk nantinya merupakan investasi yang berkualitas dan betul-betul mendatangkan benefit bagi masyarakat. Selain itu, investasi tersebut dapat mendukung pembangunan di Indonesia.

“Sekali lagi, kita tidak pernah melihat, baik investasi, baik perdagangan, ini dari , yang berarti ada yang menang dan ada yang kalah. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa tercipta,” tegasnya.

Serangkaian proyek kerja sama investasi penting antara lain Jalan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sedang dibangun namun masih tersendat oleh urusan pembebasan lahan.

Dan juga muncul sejumlah kerja sama baru lainnya anatara kedua negara di bidang-bidang infrastruktur, kapasitas produksi dan ekonomi digital.

Defisit perdagangan menyempit

Sektor perdagangan pula menjadi bahasan dalam pertemuan dengan keberhasilan Indonesia -menurut Retno- dalam menekan defisit perdagangan antara tahun 2015-2017 sebesar 11,63%.

“Kunjungan PM Li kita ingin pastikan bahwa defisit neraca perdagangan RRT semakin lama semakin dipersempit. Dalam dua tahun terakhir ini tidak kecil angka defisit yang berhasil dipersempit oleh pemerintah Indonesia,” kata Menlu Retno.

Untuk semakin mempersempit defisit perdagangan, Indonesia juga akan meningkatkan ekspor ke Cina, salah satu yang menjadi fokus ialah kelapa sawit.

“Kita tahu bahwa ekspor kelapa sawit Indonesia ke Cina adalah salah satu yang terbesar. Tiongkok destinasi kelapa sawit terbesar dari Indonesia,” ujar Retno

Selain, itu ekspor sarang burung walet, manggis, salak, pisang, kopi dan kokoa juga akan didorong.

Pengamat ekonomi dari UGM Revrisond Baswir memandang hubungan perdagangan kedua negara pada dasarnya bersifat mutual, “Cina membutuhjkan banyak hal dari Indonesia, baik itu bahan mentah, bahan setengah jadi dan juga termasuk peluang investasi di Indonesia.”

“Sebaliknya, bagi Indonesia sendiri, sangat membutuhkan pasar untuk produk-produk tertentu -terutama yang sifatnya ekstraktif, dan juga investasi dari Cina ke Indonesia,” jelas Revrisond.

Pada tahun 2017, volume perdagangan Tiongkok-Indonesia mencapai US$ 63,3 miliar, naik 18,3% dibandingkan dengan 2016.

Sumber: bbc.com, viva.co.id

Baca Juga

Bulan Bahasa & Sastra 2020: INALUM Dinobatkan Sebagai BUMN Percontohan Pengutamaan Bahasa Indonesia

PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau INALUM dinobatkan sebagai BUMN percontohan pengutamaan Bahasa Indonesia di …