Friday , October 30 2020
Beranda / Berita / Semprotan ‘Pedas’ Ala Buwas, Antara Impor dan Tak Perlu Impor Beras
deras.co.id
Kisruh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito dan Ka. Bulog Budi Waseso, antara impor dan tidak impor beras.

Semprotan ‘Pedas’ Ala Buwas, Antara Impor dan Tak Perlu Impor Beras

Kebijakan impor beras menimbulkan konflik panas di Tanah Air. Maksud hati ingin memperkuat stok dan cadangan, impor beras malah dianggap mubazir dan tidak perlu dilakukan.

Konflik pun tak terhindarkan. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Dirut Perum Bulog Budi Waseso saling lempar pandangan berbeda atas kebijakan ini.

Budi Waseso berharap pemerintah tidak lagi mengimpor beras hingga Juni 2019. Ia bahkan menilai impor beras yang dilakukan pemerintah mubazir.

Budi mengatakan, jumlah cadangan beras dan produksi lokal masih cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat. Hal itu sesuai perhitungan tim analisis bentukan Bulog yang terdiri atas para ahli, kementerian terkait, dan jajaran Bulog.

Tim tersebut menganalisis kebutuhan dan kondisi perberasan nasional. “Bahkan, beras cadangan impor di Bulog kemungkinan tidak akan terpakai,” kata Budi dalam konferensi pers di kantor pusat Perum Bulog, Jakarta, Rabu (19/9).

Pria yang akrab disapa Buwas tersebut mengungkapkan, beras impor sebanyak 1,4 juta ton yang sudah masuk hanya mengendap di gudang Bulog. Sebab, serapan Bulog dari petani lokal masih tinggi dan mencukupi untuk operasi pasar dan kebutuhan beras sejahtera (rastra).

“Percuma (impor beras). Selain dolar AS yang sedang tinggi, kondisi saat ini memang belum perlu impor. Kita harus efisiensi supaya jangan mubazir,” katanya.

Dia memerinci cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton. Jumlah tersebut belum termasuk beras impor yang akan masuk pada Oktober sebesar 400 ribu ton. Sehingga, kata dia, total cadangan beras Bulog menjadi 2,8 juta ton.

Dari total cadangan tersebut, Bulog memperhitungkan kebutuhan untuk rastra hanya akan terpakai 100 ribu ton. Dengan demikian, total stok beras yang ada di gudang Bulog hingga akhir Desember 2018 sebesar 2,7 juta ton.

Jika ditambah dengan serapan gabah dari dalam negeri sebesar 4.000 ton per hari pada musim kering, Buwas memperkirakan stok akhir bisa mencapai 3 juta ton. “Saya tak mau lagi berpolemik mau atau tidak impor. Karena ada analisis tadi tidak perlu impor, maka kebutuhan sampai Juni 2019 aman,” kata Buwas.

Buwas mengatakan, data kebutuhan beras Indonesia sebesar 2,4 hingga 2,7 juta ton per bulan perlu dipertanyakan. Dari data tersebut, tercatat bahwa setiap orang mengonsumsi beras sebanyak 130 kg per tahun. Data tersebut, menurut Buwas, menjadi rancu dan mengakibatkan asumsi bahwa kebutuhan beras lebih banyak dari yang seharusnya.

Soalnya, kata Buwas, data konsumsi beras tidak menspesifikasikan usia sehingga bayi juga dihitung sebagai penduduk yang mengonsumsi beras. “Dipukul rata, maka asumsinya menjadi 2,7 juta ton. Akhirnya dihitung produksi kita selalu tidak pernah cukup dengan kebutuhan,” ujarnya.

Buwas berharap pemerintah dapat mengerem impor beras, apalagi neraca perdagangan Indonesia masih defisit akibat nilai impor lebih tinggi daripada ekspor. Oleh karena itu, Buwas tidak setuju jika ada penambahan impor beras karena tidak sesuai dengan keinginan pemerintah yang ingin menekan impor.

“Dolar sedang tinggi. Impor beras dapat menguras devisa negara,” katanya.

Selain mengeluhkan soal impor beras, Buwas juga berharap kementerian dan lembaga terkait tak menyerahkan persoalan ketersediaan gudang beras kepada Bulog. Padahal, kata dia, permintaan impor beras yang memenuhi gudang Bulog merupakan permintaan dari pemerintah.

“Jika saya harus menyewa gudang baru, itu jadi biaya tambahan. Ada yang bilang itu urusan Bulog saja. Matamu! Enggak bisa gitu dong,” kata Buwas.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) dalam konferensi pers di Kantor Pusat Perum Bulog, Rabu (19/9) menegaskan tidak akan melakukan impor beras hingga Juni 2019 karena stok hingga akhir 2018 bisa sampai tiga juta ton setelah semua total impor beras masuk sebanyak 1,8 juta ton dari pesanan 2017(Foto: Republika/Rahayu Subekti).

Menurut dia, pemerintah seharusnya dapat bersinergi dengan Bulog, termasuk soal penyediaan gudang untuk menampung cadangan beras pemerintah. Sebab, kata Buwas, jika pemerintah ingin mengimpor beras lagi, gudang Bulog dipastikan tidak bisa menampungnya.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita enggan mengomentari soal penuhnya gudang Bulog akibat impor beras. Menurut Enggartiasto, kebijakan impor yang sudah diputuskan Kemenko Bidang Perekonomian mengamanatkan impor dilakukan Bulog.

Enggak tahu saya, bukan urusan kami. Itu sudah diputuskan di rakor menko, urusan Bulog,” ujar Enggar di kantor Kemenko Maritim, Selasa (18/9).

Data beras Menko Darmin

Menteri Koordinator Bidang Perekonomaian Darmin Nasution menyatakan data proyeksi produksi beras yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) sering meleset. Akurasi data menyangkut proyeksi produksi beras tersebut penting karena turut memengaruhi kebijakan pemerintah, misalnya terkait impor.

Data proyeksi produksi beras Kementan yang disoroti oleh Darmin yaitu sebanyak 13,7 juta ton dalam tiga bulan awal 2018. Secara rinci, angka proyeksi produksi beras tersebut terdiri dari 2,5 juta ton pada Januari 2018. Kemudian 4,7 juta ton pada Februari 2018 dan 6,5 juta ton pada Maret 2018.

Ketika dilakukan rapat koordinasi membahas beras pada 19 Maret 2018, Darmin menyebutkan stok beras medium dan premium tinggal 590 ribu ton, atau berkurang dari stok 903 ribu ton per 15 Januari 2018. Jumlah stok tersebut tidak terlalu banyak mengingat kebutuhan konsumsi beras sebulan secara keseluruhan mencapai 2,4 juta ton.

Kemudian, rapat koordinasi dilakukan kembali pada 28 Maret 2018 karena waktu panen raya sudah akan habis. Ketika itu, pemerintah memutuskan untuk impor satu juta ton sehingga total izin impor telah mencapai dua juta ton sepanjang tahun ini.

“Dibilang (Maret 2018) 6,5 juta ton proyeksi produksi. Memang stok naik menjadi 649 ribu ton tetapi tidak ada apa-apanya. Panen raya mau habis, siapa yang percaya bahwa ini akan baik-baik saja ke depan,” ujar Darmin.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana menyayangkan penumpukan beras hingga 2,4 juta ton di gudang Bulog. Penumpukan ini dinilai Azam sebagai dampak dari tidak adanya manajemen yang baik mengenai pengadaan beras oleh pemerintah.

Azam menuturkan, pemerintah selama ini belum menemukan rumusan yang tepat untuk mengelola beras. Dampaknya, beras di gudang terus bertambah, sementara impor tetap dilakukan dengan alasan menutup kekurangan produksi dalam negeri.

Azam menjelaskan, pemerintah harusnya memulai dengan menghabiskan stok yang ada di gudang Bulog terlebih dahulu. Namun, harus tetap dijaga persediaannya sesuai dengan kebutuhan bulanan masyarakat. Tujuannya, agar ketika ada kondisi dan situasi mendesak, ketersediaan beras masih dapat terjamin.

Prinsip yang dianjurkan Azam adalah first in first out (FIFO). Pemerintah harus menetapkan batasan kuota minimal di gudang terlebih dahulu. Kemudian, jumlah beras keluar harus segera diganti dengan jumlah beras yang diimpor untuk masuk gudang.

Azam menilai impor yang dilakukan pemerintah bersama Bulog tidak efektif dan harus dievaluasi bersama. Dia menegaskan, Komisi IV DPR siap berunding dengan pemerintah untuk mengevaluasinya.

Menurut dia, evaluasi ini juga harus menghasilkan upaya untuk mematahkan stigma bahwa masyarakat lebih suka membeli beras non-Bulog. Pasalnya, beras Bulog kerap dianggap berkualitas buruk.

“Caranya, ya, dengan pengendalian agar tidak ada lagi beras yang berputar-putar tidak pernah keluar dari gudang Bulog sehingga tidak layak dikonsumsi,” ucapnya.

Sumber: republika.co.id

Baca Juga

Bulan Bahasa & Sastra 2020: INALUM Dinobatkan Sebagai BUMN Percontohan Pengutamaan Bahasa Indonesia

PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau INALUM dinobatkan sebagai BUMN percontohan pengutamaan Bahasa Indonesia di …