DERAS.CO.ID -Kondisi Sri Lanka dan Venezuela menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia dalam mengelola keuangan negara, khususnya dalam belanja subsidi dan penarikan utang. Sebab, bukan tidak mungkin risiko serupa bisa terjadi di Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Abdurrahman, Kepala Bidang Analisis Fiskal, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Kementerian Keuangan dalam program Squawk Box, CNBC Indonesia, Senin (18/4/2022)
“Kita harus melihat titik keseimbangan, menjaga kesehatan APBN karena saya kira yang menjadi contoh nyata di Sri Lanka dan Venezuela dalam mengelola defisit fiskal”, ujarnya.
Dalam beberapa waktu terakhir, harga minyak dunia, komoditas pertambangan dan perkebunan serta pangan mengalami lonjakan akibat perang Ukraina dan Rusia.
Banyak negara ikut terpuruk akibat kondisi tersebut. Keuangan negara yang sudah berdarah-darah akibat pandemi covid, dihantam lagi oleh dampak perang. Negara akan kesulitan memberikan subsidi ataupun bantuan sosial.
Hal ini jelas mendorong kenaikan inflasi. Daya beli masyarakat terpukul amat dalam dan memicu krisis.
“Kita juga gak boleh menutup mata. Misalnya seperti di Pakistan, Sri Langka ini inflasi yang tinggi. Tingkat inflasi yang tinggi ini bisa memantik terjadinya gejolak sosial dan kekisruhan politik”, jelasnya.
Kini pemerintah memiliki tanggungan besar dalam subsidi energi. Apabila tidak ada penyesuaian harga Pertalite, Solar, LPG dan listrik, maka subsidi bisa melonjak sampai lebih dari Rp 200 triliun. Ini sudah termasuk utang Rp 100 triliun dari pemerintah ke Pertamina dan PLN.
(*)