Saturday , December 2 2023
Beranda / Featured / Meninggalkan Maksiat, Memperoleh Keberkahan
deras.co.id

Meninggalkan Maksiat, Memperoleh Keberkahan

DERAS.CO.ID – Ini kisah seorang pemuda yang mendapatkan rezeki tak terduga usai meninggalkan maksiat.

Pada era generasi tabiin, ada seorang syekh alim di Damaskus, Syam (Suriah). Sehari-hari, fakih ini mengajar di masjid setempat, at-Taubah. Reputasinya amat masyhur. Banyaklah anak muda yang menjadi muridnya.

Suatu hari, datanglah seorang remaja ke at-Taubah. Jauh-jauh datang ke Damaskus, niatnya memang untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Di kota ini, tidak ada satu pun sanak famili atau kenalannya.

Sesudah hadirin majelis Masjid at-Taubah bubar, pemuda tadi meminta izin untuk bertemu sang syekh. “Wahai, Imam. Saya pemuda miskin yang datang jauh-jauh dari luar kota ini (Damaskus). Saya kemari hanya ingin berguru kepada engkau,” katanya membuka pembicaraan.

“Karena itu,” lanjut dia, “apakah engkau mengizinkan saya tinggal di masjid ini, dan makan serta minum dengan apa-apa yang engkau punyai?”

Singkat cerita, syekh tersebut setuju. Maka pemuda ini pun tinggal menumpang dengan gurunya itu.

Tiga bulan berlalu. Pemuda tadi mendapati kebiasaan zuhud sang syekh. Bila ada rezeki, ulama tersebut dan keluarganya makan dua atau tiga kali sehari. Mereka berpuasa bila sedang kekurangan makanan. Remaja tersebut pun mengikuti rutinitas demikian yang dilakukan gurunya itu.

Hingga tibalah hari yang terasa amat berat baginya. Hari itu, sudah tiga hari berturut-turut syekh berpuasa. Mungkin karena sudah kebiasaan, tubuh sang alim biasa-biasa saja, tidak terlalu kelaparan. Namun, pemuda perantauan yang jadi muridnya lama-kelamaan tidak kuat. Dia menjadi sangat lapar.

Saking laparnya, ia terpaksa mengikat perutnya. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat.

Saat itulah terlintas pikiran dalam benaknya. Pemuda ini berpikir, sudah tiba saatnya dirinya diperbolehkan secara syariat untuk mencuri. Melakukan tindak tidak terpuji itu untuk bisa makan sekadarnya.

Bakda isya, pemuda itu berusaha mewujudkan niat jahatnya. Namun, baru kali inilah dia bertindak sepert pencuri. Sangat canggung kedua kakinya memanjat dinding luar Masjid at-Taubah.

Seperti umumnya bangunan-bangunan di Damaskus, tembok masjid tersebut pun menempel pada dinding rumah-rumah warga sekitar. Maka, begitu berhasil menapaki atap Masjid at-Taubah, pemuda ini lebih leluasa untuk melompat ke atap rumah-rumah warga.

Tidak jadi mencuri

Rumah pertama yang dihampirinya hanya diisi beberapa remaja putri. Dari celah balik atap, pemuda itu mengintip ke dalamnya, tetapi langsung memalingkan wajah begitu melihat paras para perempuan itu.

Tujuannya melakukan aksi ini hanya agar bisa mencuri makanan. Bukan hal lain semisal mengganggu gadis-gadis.

Maka, ia terus merangkak ke atap rumah berikutnya. Tiba-tiba, ia mencium aroma makanan yang baru saja dimasak. Pelan-pelan, pemuda ini meluncur turun dari atap, lalu masuk ke dalam dapur. Di tengah kegelapan, dia membuka tutup panci–yang jadi sumber aroma sedap itu. Kemudian, diambilnya sop terong yang ada di dalamnya.

Saat sedang mengunyah, tiba-tiba pemuda itu dikecam rasa takut. Ia takut bermaksiat, sedangkan hati kecilnya yakin sungguh-sungguh bahwa Allah Mahamelihat. Maka, terong yang ada di dalam mulutnya dan hampir tertelan itu pun dimuntahkannya.

Ia takut bermaksiat, sedangkan hati kecilnya yakin sungguh-sungguh bahwa Allah Mahamelihat.

Katanya dalam hati, “Setan telah berhasil menggodaku tiga hal! Pertama, dia menyuruhku mencuri; lalu melihat perempuan yang bukan mahramku, dan memasuki rumah orang lain tanpa izin.”

Dengan segera, pemuda ini mengendap-endap keluar dari dapur itu. Usai berhasil keluar dari jendela, ia memanjat tembok lagi, dan berjalan pulang.

Sesampainya di Masjid at-Taubah, dia menemukan sang syekh sedang menerima tamu, yakni seorang perempuan. Wanita yang bercadar itu tampak diiringi dua orang pendampingnya–mungkin para budaknya yang perempuan.

Bagaimanapun, pemuda itu tidak ingin peduli. Sebab, perutnya masih sangat lapar sehingga dia hanya terduduk lemas, menyandar pada dinding.

Tiba-tiba, syekh memanggilnya, “Wahai, pemuda. Kemarilah! Apakah kamu sudah menikah?”

“Belum, wahai syekh,” jawab pemuda itu, masih dengan wajah sayu.

“Apakah kamu mau menikah?” tanya gurunya itu.

Si pemuda tidak menjawab sepatah kata pun. Pertanyaan itu diulangi sang syekh tiga kali berturut-turut, sehingga muridnya itu “terpaksa” mengeluh.

“Wahai, syekh. Saya datang kepadamu sebagai pemuda perantauan yang tidak punya apa-apa. Saya hidup bersama keluargamu. Apa yang engkau makan, itulah yang kumakan. Jika engkau berpuasa, saya pun puasa. Tapi hari-hari belakangan ini saya benar-benar terbatas. Saya belum makan sama sekali. Bagaimana mungkin saya menikah? Dengan apa saya nafkahi istri saya nanti?” katanya.

“Wahai pemuda. Perempuan yang datang kepada saya ini adalah seorang janda. Dia baru saja menyelesaikan masa iddah. Dia takut akan fitnah, sehingga meminta saya untuk menikahkannya dengan seorang pria,” kata sang syekh.

“Karena itu, saya ingin kamu menikah dengannya. Kamu tidak perlu khawatir. Perempuan ini memiliki rumah dan hidup berkecukupan,” lanjut guru pemuda tersebut ini.

Syekh kemudian meminta persetujuan dari perempuan tadi, yang lantas menyanggupi tawarannya. Pemuda itu pun mengangguk setuju. Maka sang syekh memanggil beberapa orang sebagai saksi. Dia juga mengambil satu buah kendi sebagai mas kawin pemuda tadi untuk sang janda.

Akhirnya, menikahlah mereka. Setelah selesai ijab kabul, syekh pun menyuruh pemuda tadi pergi.

“Pergilah ke rumah istrimu. Kalian berdua kini telah suami-istri,” ucap syekh sembari memberi selamat dan mendoakan kebaikan.

Maka pasangan itu berjalan menuju rumah tujuan. Dia melewati satu rumah yang tadinya hampir disatroni si pemuda. Tiba di rumah kedua, perempuan itu mempersilakan suami barunya tersebut masuk.

Pemuda itu terkejut karena inilah rumah yang beberapa saat lalu dimasukinya tanpa izin.

“Silakan,” katanya dengan lembut.

Pemuda itu terkejut karena inilah rumah yang beberapa saat lalu dimasukinya tanpa izin.

“Suamiku, tadi kudengar engkau belum makan sama sekali seharian ini. Duduklah di sini. Aku sudah memasak sup terung di dapur,” kata sang istri.

Tak lama, perempuan ini sedikit teriak. Dia terkejut karena mendapati betapa berantakan keadaan dapurnya kini.

Dengan tenang, pemuda ini memanggil istrinya itu, “Kemarilah, istriku.”

Maka diceritakanlah kronologi sesungguhnya. Awalnya ia berniat mencuri karena lapar, hingga akhirnya meninggalkan perbuatannya itu –dengan memuntahkan terung ke lantai.

“Wahai suamiku. Engkau telah meninggalkan perbuatan buruk karena sup ini bukan milikmu. Tapi kini Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik. Bukan hanya sup ini, tetapi juga seisi dapur ini, rumah ini, dan aku yang memiliki rumah ini sekarang menjadi milikmu,” kata perempuan cantik ini.

Sumber: republika.id

Baca Juga

deras.co.id

YPSA Serahkan Donasi Untuk Gaza

DERAS.CO.ID – Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (YPSA) melalui perwakilannya Jodi Salahuddin Akbar menyerahkan hasil donasi …