Indonesia harus menolak ideologi gender dan kurikulum didasarkan atas konsep Comprehensive Sexuality Education (CSE), karena merusak sendi-sendi keluarga
Deras.co.id – Akhir-akhir ini istilah gender sangat populer dan menjadi pembicaraan di semua sektor kehidupan. Bahkan, dalam agenda sustainable development goals dari PBB, salah satu goal dari tujuh belas yang diagendakan oleh PBB adalah gender equality (United Nations, n.d).
Indonesia juga secara nasional sudah akrab dengan istilah gender mainstreaming sehingga pusat studi wanita di hampir semua perguruan tinggi di Indonesia sekarang berubah nama menjadi pusat studi gender.
Wacana gender ini harus diwaspadai karena sudah berkembang menjadi sebuah gerakan yang mengancam kesehatan, terutama pada remaja, baik secara fisiologis maupun psikologis.
Secara umum, gender dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial tentang jenis kelamin.
Pada awalnya, pria dan wanita menurut istilah gender ini dipahami sebagai sifat atau perilaku yang cenderung maskulin atau feminin. Namun, belakangan ini identitas gender menjadi sesuatu yang menggantikan jenis kelamin, sekaligus dimanifestasikan secara biologis dengan manipulasi tubuh seseorang.
Pemikiran yang akhirnya berkembang di seluruh dunia dan menjelma menjadi sebuah gerakan bernama “ideologi gender”, yang melahirkan paham dan praktik-praktik yang berusaha mengubah cara pandang masyarakat tentang seksualitas.
Salah satu paham yang saat ini semakin gencar dipropagandakan adalah gender tidak terbatas pada pria dan wanita, tetapi ada yang disebut sebagai gender ketiga (nonbinary).
Gender ketiga ini didefinisikan sebagai bukan pria dan bukan wanita. Istilah gender ketiga tidak memiliki konsep yang jelas/definitif sehingga tidak dapat dipahami secara pasti apa yang dimaksudkan.
Dampak dari ketidakjelasan konsep gender ketiga ini menimbulkan berbagai penyimpangan pada orientasi seksual seseorang. Di antara penyimpangan itu, antara lain; homoseksual (gay dan lesbian), biseksual, transgender, dan yang terakhir adalah pedofilia.
Untuk menjustifikasi perilaku mereka yang menganut ideologi gender ini, mereka mempropagandakan apa yang disebut sebagai sexual rights yang mereka klaim sebagai bagian dari human rights.
Sexual rights adalah sebuah deklarasi yang menyatakan semua manusia memiliki hak untuk beraktivitas seksual yang tidak boleh dibatasi oleh agama, pemerintah, maupun orang tua.
Seiring fenomena ini, berkembang pula gerakan kebebasan wanita yang dikenal sebagai women‘s liberation movement. Istilah lain untuk women‘s liberation movement adalah women’s right movement yang kemudian dikenal sebagai gerakan feminisme.
Gerakan feminisme menuntut kesamaan hak dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Gerakan ini menjelma menjadi gay rights movement yang memperjuangkan perilaku homoseksual.
Tahun 1970-an, kelompok homoseksual berhasil mempengaruhi Asosiasi Psikologi Amerika/American Psychological Association (APA) untuk mengubah status homoseksual yang semula dianggap menyimpang menjadi “sesuatu yang dianggap normal”.
Perpaduan antara gerakan homoseksual, feminisme, dan gender ini kemudian melebur menjadi gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, and Transgender) yang tahun 2015 berhasil memengaruhi Mahkamah Agung Amerika untuk melegalkan perkawinan sejenis.
Kurikulim Pendidikan Seks
Untuk mempropagandakan ideologi gender dan sexual rights ini, para pendukung gerakan ini telah menyusun sebuah “kurikulum pendidikan seksual untuk anak-anak” yang disebut Comprehensive Sexuality Education (CSE).
CSE ini berisi tentang petunjuk tentang cara-cara beraktivitas seksual bagi anak-anak. Selain itu, CSE juga menyebarkan paham tentang gender ketiga (nonbinary), yaitu bahwa setiap individu bisa memilih untuk menjadi laki-laki atau perempuan tanpa harus sejalan dengan jenis kelaminnya secara biologis.
Saat ini CSE sudah dilegalkan oleh pemerintah Amerika dan bahkan oleh PBB untuk dipropagandakan kepada seluruh negara di dunia yang menjadi anggota PBB.
Di AS sendiri banyak warga yang menentang CSE. Salah satunya Family Watch International, organisasi yang memihak dan memperjuangkan hak-hak keluarga, termasuk hak melindungi anak-anak mereka.
Di Kanada, terdapat kasus yang cukup memprihatinkan terkait dengan isu ini. Seorang ayah telah dipenjarakan karena memanggil anak perempuannya sebagai “she”, padahal anak perempuan tersebut merasa dirinya laki-laki.
Ideologi gender ini jelas-jelas bertentangan dengan ideologi negara Indonesia yang sudah mengkristal di dalam Pancasila.
Langkah Konkrit
Ideologi gender telah menciptakan kebingungan tentang jenis kelamin yang berdampak sangat luas. Sampai sebuah film dokumenter di AS mengungkapkan masyarakat Amerika –baik yang terdidik maupun tidak terdidik– sudah tidak lagi bisa mendefinisikan wanita (woman).
Kebingungan-kebingungan yang diciptakan oleh ideologi gender ini telah terbukti memakan korban dan akan semakin banyak korban yang berjatuhan jika tidak disadari.
Sebagai langkah konkret untuk menghadang pengaruh ideologi gender ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, tolak kurikulum pendidikan seksual yang didasarkan atas konsep Comprehensive Sexuality Education (CSE).
Kedua, kuatkan sistem hukum Indonesia agar tidak disusupi oleh ideologi gender ini yang sering menggunakan kamuflase Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiga, perlu disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat tentang hakikat HAM yang sesungguhnya, yaitu untuk menjunjung tinggi kemuliaan manusia.
Keempat, perlu sosialisasi yang meluas pada keluarga Indonesia melalui ormas-ormas yang peduli terhadap isu ini agar mereka waspada terhadap propaganda merusak ini.
Kelima, diperlukan kemauan politik yang tegas dengan mendasarkan pada nilai-nilai pancasila untuk menghadang masuknya ideologi gender ke Indonesia. Semoga Allah melindungi kita dari pemikiran-pemikiran yang menjerumuskan ini. [hidayatullah]
* Oleh: Dr. Bagus Riyono, MA