Deras.co.id – Rasulullah SAW memiliki 3 anak laki-laki yaitu Qasim, Abdullah dan Ibrahim, yang kesemuanya meninggal ketika usia masih bayi. Qasim dan Abdullah anak dari Khadijah. Ibrahim anak dari Mariyah Al Qibtiyah.
Segala ketetapan Allah ta’ala atas hambaNya tentu memiliki hikmah dan tujuan yang baik, terlebih jika itu terjadi kepada kekasihNya dan makhluk terpilihNya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam. Maka sudah lah pasti semua peristiwa hingga musibah wafatnya seluruh anak laki-laki beliau di usia bayi mengandung hikmah yang besar. Di antaranya kemungkinan sebagai berikut:
Di antara hikmah dari wafatnya anak-anak laki-laki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam di usia dini adalah untuk menghindarkan asumsi bahwa kenabian akan diwariskan kepada keturunan beliau. Karena di masa lalu, kenabian sering kali diwariskan dari seorang Nabi kepada anak keturunannya, seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim yang memiliki dua anak, Ismail dan Ishaq, dan kenabian terus berlanjut dalam keturunan Ishaq. Seperti yang tergambar di ayat berikut:
1. Menghindarkan Terjadinya Pewarisan Kenabian
Di antara hikmah dari wafatnya anak-anak laki-laki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam di usia dini adalah untuk menghindarkan asumsi bahwa kenabian akan diwariskan kepada keturunan beliau. Karena di masa lalu, kenabian sering kali diwariskan dari seorang Nabi kepada anak keturunannya, seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim yang memiliki dua anak, Ismail dan Ishaq, dan kenabian terus berlanjut dalam keturunan Ishaq. Seperti yang tergambar di ayat berikut :
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الفَضْلُ المُبِينُ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: Wahai manusia, kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar karunia yang nyata“,(QS. An Naml: 16).
Dengan tidak adanya anak laki-laki yang melanjutkan garis keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam, Allah ingin memastikan bahwa umat memahami misi risalah beliau bukan untuk diwariskan kepada keturunan semata, tetapi harus diteruskan oleh seluruh umat Islam. Hal ini juga untuk mencegah salah paham bahwa ada pewaris langsung kenabian setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam, karena beliau adalah penutup para nabi.
2. Menegaskan bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam
Wafatnya anak laki-laki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam juga mengandung hikmah untuk menegaskan bahwa kenabian telah berakhir dengan di utusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam. Itu mengapa Allah SWT ketika menegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam adalah penutup risalah bagi para nabi dan rasul mengkaitkan dengan sangkaan bahwa beliau adalah bapak dari seorang laki-laki dari umatnya. FirmanNya :
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu“,(QS. Al Ahzab: 40).
Dengan demikian, wafatnya anak-anak laki-laki beliau sebelum dewasa menjadi hikmah besar agar tidak ada harapan atau dugaan bahwa akan ada nabi setelah beliau, sehingga umat Islam tetap berpegang pada keyakinan bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam.
3. Mencegah Fitnah dikalangan Umat
Di antara hikmahnya pula, dengan itu Allah menghendaki untuk mencegah sebagian fitnah di kalangan umat dengan sebab keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam. Menghilangkan anggapan bahwa kenabian atau sebagian dari urusan kenabian adalah hak keturunan yang harus diwariskan, seperti halnya dalam tradisi kenabian bani Israil dan umat terdahulu. Allah ta’ala menghendaki agar umat Islam tidak menjadikan nasab sebagai tolak ukur utama untuk menilai sebagai kebenaran, tapi dalil dengan landasan al Kitab dan sunnah nabi lah yang menjadi ukurannya.
Demikian juga hal ini memberikan penegasan bahwa kemuliaan dan keagungan dalam Islam itu bukan diukur dari nasab, kesukuan atau ras tertentu, namun ditentukan oleh kadar ketaqwaan seseorang. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam firmanNya :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu“,(QS. Al Hujurat: 13).
Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Wahai manusia, ketahuilah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, atau bagi orang non-Arab atas orang Arab, dan tidak ada keutamaan bagi orang yang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam, atau bagi orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa“,(HR. Ahmad).
4. Menyempurnakan Misi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam sebagai Rahmat bagi seluruh alam
Wafatnya anak-anak laki-laki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam juga memberikan hikmah bahwa beliau diutus sebagai “rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi seluruh alam) bukan untuk membangun sebuah dinasti atau kerajaan keluarga,.
Kepemimpinan umat ini tidak boleh hanya dimonopoli oleh satu keluarga atau kelompok tertentu, melainkan harus menjadi tanggung jawab setiap individu yang menerima risalah beliau. Ajaran ini lah yang kemudian diterjemahkan oleh Khulafaur Rasyidin yang memimpin umat Islam sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam. Yang mereka diangkat karena ilmu, ketaqwaan dan pengorbanannya untuk Islam, bukan karena pertimbangan nasab.
Dengan hikmah ini, Allah ta’ala dengan kehendak-Nya yang sempurna telah mengatur semua hal untuk memastikan agar risalah yang telah disampaikan oleh sang Rasul bisa diterima, dipahami, dan dijaga oleh umat Islam secara kolektif dan berkesinambungan.
5. Menghilangkan Ejekan orang kafir
Orang-orang kafir Quraisy dahulu mengejek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dengan sebutan “abtar” (terputus keturunan) karena tidak memiliki anak laki-laki yang hidup hingga dewasa. Yang mana kemudian Allah SWT membalas ejekan mereka dengan menurunkan firmanNya :
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus“,(QS. Al Kausar: 3).
Dengan ayat ini Allah ta’ala menegaskan bahwa kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak lah bergantung pada keturunan anak laki-laki, melainkan pada misi dan ajaran yang dibawanya. Dan Allah juga memastikan bahwa musuh-musuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam yang justru akan terputus, sementara beliau terus dikenang dan dicintai oleh umat sepanjang masa, bahkan sebagian anak keturunan Nabi shalallahu’alaihi wassalam masih ada dan terjaga hingga hari ini.
6. Ujian orang-orang terpilih itu memang berat
Peristiwa wafatnya anak-anak laki-laki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam di usia belia adalah termasuk ujian yang sangat berat, terutama di masa ketika memiliki anak laki-laki di masa itu dianggap sebagai simbol kekuatan dan keberlanjutan keturunan. Kesedihan Nabi begitu mendalam saat menerima ujian ini satu persatu. Bahkan beliau diriwayatkan saat salah satu putranya wafat menangis hingga bercucuran air mata dan mengungkapkan rasa kesedihannya dengan kalimat yang sangat menyentuh.
Sebagai seorang kekasih Allah dan makhluk pilihanNya, sang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam diuji sesuai dengan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Allah. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang di bawah meraka (dalam hal derajat keimanan) dan seterusnya“,(HR. Tirmidzi).
Ujian adalah salah satu bagian dari cara Allah SWT meninggikan derajat hamba-hamba-Nya yang terpilih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam telah menghadapi berbagai macam musibah yang berat tak terkira dalam kehidupannya, guna mengajarkan kepada kita bahwa adanya iman dan keshalihan pada diri seseorang bukanlah penjamin untuk bebas dari ujian dan musibah.
7. Agar tidak ada Pengkultusan
Tidak adanya keturunan laki-laki yang hidup hingga dewasa menghindarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan keluarganya dari potensi pengkultusan. Ini mengajarkan bahwa kemuliaan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak terletak pada keturunannya, melainkan pada risalah dan sunnah yang beliau ajarkan. Bahkan ketika ada keluarga dan orang yang sangat beliau cintai sekalipun, di antaranya Abu Thalib yang menolak ajaran beliau, tak sedikitpun hubungan nasab itu bisa memberi manfaat kepada sosok tersebut.
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki“,(QS. Al Qasas: 56).
8. Menepis asumsi bahwa keturunan laki-laki adalah pertanda keberhasilan
Pada zaman Arab jahiliyah, memiliki anak laki-laki dianggap sebagai lambang kekuatan dan keberhasilan, sedangkan anak Perempuan hanya dianggap sebagai bentuk kesialan. Dengan wafatnya semua anak laki-laki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam, Allah SWT menunjukkan bahwa meski tanpa anak laki-laki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam terbukti menjadi sosok yang sukses dan mulia, dan semua keagungan itu semua terjaga dengan baik sepanjang zaman.
Sebaliknya beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam membawa ajaran untuk memuliakan kaum wanita dan anak-anak perempuan dengan sabdanya :
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang memiliki 3 anak perempuan, lalu ia bersabar terhadap meraka, memberi makan, minum, dan pakaian dari usahanya, maka meraka akan menjadi pelindung dari api neraka baginya pada hari kiamat“,(HR. Ahmad).
Wallahu’alam bhissawab
Ust. Ahmad Syahrin Thoriq