Thursday , May 2 2024
Beranda / Berita / Korupsi Tambang Timah Ilegal di Bangka Belitung Menyeret Beberapa Artis Sandra Dewi

Korupsi Tambang Timah Ilegal di Bangka Belitung Menyeret Beberapa Artis Sandra Dewi

Deras.co.id – Kasus-kasus dugaan korupsi pertambangan marak. Dari para pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang terlibat dalam kasus perizinan nikel di Sulawesi Tenggara, Menteri Bahlil dilaporkan ke KPK, sampai kasus dugaan tata niaga dan perizinan tambang timah melibatkan PT Timah Tbk, di Bangka Belitung yang disebut berpotensi merugikan negara sekitar Rp271 triliun.

Kejaksaan Agung (Kejagung) membongkar kasus dugaan korupsi di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) Tima, Bangka Belitung periode 2015-2022 melibatkan belasan perusahaan. Sebanyak 16 orang jadi tersangka, antara lain, Harvey Moeis, merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT), jadi topik hangat karena suami artis Sandra Dewi dan Helena Lim, dari PT Quantum Skyline Exchange (QSE).

Kejagung menyebut, Harvey memiliki peran menjembatani tersangka Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), selaku eks Direktur Utama PT Timah dengan maksud mengakomodir penambangan timah ilegal IUP perusahaan pelat merah itu periode 2018-2019.

Agung Kuntadi, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan, mengatakan, suami artis Sandra Dewi ini melakukan beberapa pertemuan MRPT. Hasil dari lobi-lobi itu menghasilkan kesepakatan kerja sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP Timah untuk menutupi korupsi itu.

“HM (Harvey) mengkondisikan agar smelter PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN mengikuti kegiatan itu,” katanya dalam konferensi pers kasus di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu, (27/3/24) malam terlihat di kanal YouTube Kejagung.

Dia bilang, Harvey menginstruksikan kepada para pemilik smelter untuk membagikan keuntungan kepadanya dan para tersangka lain yang telah ditahan. Keuntungan itu diberikan dengan dalih dana corporate social responsibility (CSR) melalui QSE, yang difasilitasi Helena Lim.

“Yang bersangkutan (Helena) memberikan sarana dan prasarana melalui QSE, untuk kepentingan dan keuntungan yang bersangkutan dan para tersangka lain dengan dalih penyaluran dana CSR,” ucap Kuntadi.

Mereka pun kini ditahan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat selama 20 hari ke depan. Atas perbuatannya, mereka terjerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 KUHP.

Belasan orang jadi tersangka

Hingga kini, Kejagung menetapkan 16 tersangka. Tiga orang mantan PT Timah yakni MRPT, Emil Ermindra dan Alwin Akbar. Kemudian, 13 orang lain dari swasta, termasuk satu orang ditahan karena menghalang-halangi penyidikan.

Sebanyak 148 saksi telah diperiksa. Menurut kejaksaan tak menutup kemungkinan tersangka bertambah seiring penyidikan.

Modus pelaku dalam memperoleh keuntungan dalam aksi tambang ilegal terjadi secara sistematis. Mulai dari membentuk perusahaan cangkang, modus dana CSR untuk mencuci uang hasil penambangan ilegal hingga membuat kerja sama penyewaan alat peleburan bijih timah.

Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, mengatakan, para tersangka ini bersekongkol mulai dari tersangka SG meminta MBG menandatangani kontrak kerja sama dan membentuk perusahaan cangkang untuk mengakomodir pengumpulan biji timah ilegal dari IUP Timah. Perusahaan cangkang untuk mengumpulkan timah ilegal, kata Ketut seperti CV Bangka Jaya Abadi dan CV Rajawali Total Persada.

“Seluruhnya dikendalikan tersangka MBG, biji timah yang diproduksi tersangka MBG dari IUP Timah atas persetujuan dari PT Timah,” ucap Ketut.

Total biaya dikeluarkan Timah dari VIP selama 2019-2022 yakni Rp975,581 miliar. Sedangkan, total pembayaran biji timah Rp1,729 triliun.

Guna aktivitas penambangan ilegal terlihat legal, perusahaan cangkang yang bekerjasama dengan Timah menerbitkan surat perjanjian kerja borongan pengangkutan sisa hasil pengelolaan mineral. Keuntungan atas transaksi biji timah ini dinikmati mereka.

“Perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian besar, karena menyebabkan kerusakan lingkungan berat dan parah hampir melebihi kasus PT Asabri dan Dulta Palma Group,” katanya.

Hutan dan lahan rusak parah, kerugian Rp271 triliun

Bambang Hero Saharjo, pakar lingkungan juga Guru Besar IPB University mengatakan, sudah riset di Bangka Belitung. Hasil pantauan citra satelit menunjukkan kerusakan parah. Banyak lokasi bekas tambang terbengkalai menimbulkan lubang besar karena tidak dinormalisasi dan ditinggalkan begitu saja.

“Bukan hanya dalam kawasan hutan tapi di luar kawasan hutan sudah dibuka. Ini berbahaya, kerusakan hutan. Banyak perusahaan tidak gunakan izin pakai kawasan hutan,” katanya dalam kanal YouTube Kejagung, Februari lalu.

Dalam paparannya, Bambang menunjukkan sebagian lokasi tambang yakni di Desa Perlang, Cenglong, Lubuk Besar, Bangka Belitung. Lokasi itu terlihat gundul dan banyak lubang besar bekas tambang sudah jadi danau.

Luasan IUP tambang di Bangka Belitung 348.653,574 hektar. Jumlah itu tersebar di tujuh kabupaten yakni Bangka, Bangka Barat, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Belitung, Belitung Timur dan Kota Pangkalpinang.

Sedangkan, luas galian tambang Bangka Belitung mencapai 170.363,064 hektar. Jumlah itu menyebar di tujuh lokasi baik di dalam ataupun luas kawasan hutan.

Dalam hitungannya, total kerugian karena aktivitas tambang ilegal ini mencapai Rp271, 070 triliun. Jumlah itu dia dapatkan dari kerusakan di dalam dan non kawasan hutan. Rinciannya, biaya kerugian lingkungan Rp183,703 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp74, 493 triliun, biaya pemulihan lingkungan Rp12, 157 triliun.

“Kita dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2014,” katanya.

Agung Kuntadi, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan, mengatakan, kerugian ini masih akan bertambah seiring proses perhitungan keuangan kerugian negara yang masih berjalan.

Dia bilang, ratusan ribu hektar lahan di dalam atau luar kawasan hutan bekas tambang tidak dipulihkan oleh pengusaha usai menambang. Kondisi ini, katanya, menimbulkan lubang yang tidak baik untuk aktivitas masyarakat.

Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung, mengatakan, Rp271 triliun ini belum termasuk kerugian pengabaian hak asasi manusia (HAM), fauna, flora, dan konflik yang terjadi antara manusia dengan satwa akibat pergeseran ekosistem.

Dia mendorong, pemerintah turut menghitung kerugian dari sektor-sektor itu.

Selain itu, katanya, tambang timah di Babel tak hanya du darat juga di pesisir dan laut. Jadi, pemerintah juga perlu memperhatikan tambang timah yang di pesisir dan laut itu.

“Ini mengganggu ekosistem mangrove, terumbu karang. Itu bagian ekosistem penting,” katanya kepada Mongabay, Sabtu (30/3/24).

Walhi Babel mencatat, banyak korban dari aktivitas tambang ini mulai kecelakaan kerja sampai tenggelam di kubangan bekas tambang.

Jumlah korban kecelakaan aktivitas tambang selama 2021-2023 sekitar 47 orang, 27 orang meninggal dan 20 luka-luka. Kemudian, ada 21 kasus tenggelam di kubangan bekas galian tambang, 15 orang meninggal dunia.

“Ada 12 anak-anak dan remaja rentang usia 7-20 tahun.”

Dia mendesak pemerintah memulihkan pesisir dan laut yang terdampak galian tambang karena sebagian besar masyarakat Bangka menggantungkan hidup dari laut.

“Masyarakat Bangka Belitung sangat bersandar ekosistem laut. Baik sumber penghidupan ekonomi atau budaya.”

Tambang di Babel, katanya, sudah berlangsung sejak era kolonialisme. Pada pasca reformasi aktivitas tambang kian masif. Eksploitasi, katanya, menyebabkan banyak kerusakan lingkungan dan otomatis pemulihan akan sangat lama.

“Sementara daya dukung dan daya tampung lingkungan di Banga Belitung itu sudah tidak sanggup lagi untuk dibebani industri ekstraktif baik pertambangan atau perkebunan monokultur skala besar,” katanya.

Walhi merekomendasikan pemerintah menerapkan kebijakan moratorium (jeda) pertambangan untuk menyelamatkan lingkungan di Bangka Belitung.

Kebijakan moratorium pertambangan itu diantaranya, Stop izin baru pertambangan, kaji ulang dan evaluasi seluruh kebijakan terkait tata kelola pertambangan termasuk izin yang menyebabkan konflik di tengah masyarakat, lalu yang merusak lingkungan dan menyebabkan korban jiwa. Kemudian, mempercepat upaya restorasi pemulihan ekosistem di wilayah tambang Bangka Belitung.

“Presiden harus melihat itu sebagai satu agenda penting untuk tata kelola pertambangan,” katanya.

Aktivitas tambang timah, katanya, menyumbang deforestasi hutan dan lahan di Babel. PT Timah, perusahaan pertambangan pelat merah yang memiliki hampir 50% dari total perizinan pertambangan di Babel, mengklaim telah melaksanakan kewajiban reklamasi.

Berdasarkan paparan Timah pada 2021, luas IUP di Babel sekitar 120 seluas 428.379 hektar. Luas IUP darat 288.716 hektar, sedangkan luas IUP Laut 139.663 hektar.

Pada 2023, Timah menargetkan mereklamasi lahan bekas tambang 400 hektar, sampai Oktober 2023 terealisasi 273,73 hektar atau 68%.

“Adapun realisasi reklamasi Timah dalam kurun 2015-2022 hanya seluas 2.829,49 hektar. Yang jadi catatan, hingga saat ini belum ada laporan resmi terkait perkembangan atau keberhasilan dari proyek reklamasi itu,” kata Ahmad.

Selain itu, luasan reklamasi belum sebanding dengan lahan kritis bekas tambang. Menurut pemerintah Babel, pada 2023, terdapat 167.104 hektar lahan kritis dan sangat kritis, sebagian besar karerna aktivitas penambangan timah.

Modus umum terjadi

Jaringan Advokasi Anti Tambang (Jatam) menilai, praktik korupsi di Babel sudah umum sebenarnya. Di mana, terdapat tambang ilegal beroperasi di atas tambang legal.

“Kami mencermati ini modus umum, dimana perusahaan cangkang dibentuk. Ini terjadi juga di Blok Mandiodo. Nah, ini terjadi juga sekarang di Pulau Sangihe,” kata Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam kepada Mongabay, Senin, (1/4/24).

Dia contohkan kasus di Sangihe, izin operasi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) dicabut. Meski begitu, katanya, TMS masih bisa beroperasi lewat perusahaan cangkang yang bekerjasama dengan kontrakarya.

“Itu pola paling umum (membentuk perusahaan cangkang). Ada yang pinjam dokumen. Jadi bukan hanya membentuk perusahaan cangkang tapi pinjam dokumen perusahaan lain,” katanya.

Jatam pun mengingatkan, Kejaksaan untuk bersiap mempersiapkan diri di pengadilan agar bisa membuktikan dan meyakinkan hakim kerugian capai Rp271 triliun.

“[Baru] klaim, klaim itu akan diuji di pengadilan, yang diputus majelis hakim di pengadilan,” katanya.

Apabila jaksa tak bisa menunjukkan bukti konkret terkait nilai itu, maka ada potensi hakim menolak tuntutan. Sebab, kata Jamil, dalam UU Tindak Pidana Korupsi telah dijelaskan korupsi harus terang dan jelas.

“Jadi JPU- nya kalau tidak mampu membuktikan segitulah kerugiannya, bahkan dianulir putusan di tingkat banding atau Mahkamah Agung.”

Diua pun mencontohkan kasus PT Duta Palma yan g menjerat sang bos, Surya Darmadi, dalam kasus korupsi perkebunan sawit dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Mulanya, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis Surya Darmadi 15 tahun penjara dan wajib bayar Rp42 triliun.

Darmadi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan putusan berubah harus membayar Rp2 triliun, dengan hukuman naik jadi 16 tahun.

Begitu pula dengan kasus korupsi Asabri. Jaksa menyebutkan, kerugian negara Rp22,7 triliun. Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama PT Hanson Internasional, dinyatakan bersalah, namun hakim hanya meminta dia mengembalikan uang kerugian negara Rp5,7 Triliun dan hukuman penjara 17 tahun.

“Ini penting untuk pihak ini (jaksa) sangat berhati-hati menyiapkan atau mempersiapkan diri dalam proses penuntutan.”

Jamil sarankan, Mahkamah Agug menempatkan hakim terbaik untuk mengadili kasus korupsi Timah. Terutama, hakim yang memiliki perspektif lingkungan hidup dan krisis.

Jaksa pun, katanya, jangan hanya fokus pada menangkap dan menuntut kewajiban ganti rugi pada tersangka. Juga harus tuntut dengan pertanggung jawaban pemulihan kerusakan lingkungan hidup.

Kerusakan yang ditimbulkan tambang ini, katanya, sangat parah. Ribuan lubang bekas galian tambang ditinggalkan begitu saja tanpa ada normalisasi hingga menyebabkan, ekosistem lingkungan terganggu serta terdampak pada masyarakat.

“Para tersangka harus dituntut untuk melakukan perbuatan tertentu pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan sosial,” katanya.

Ferdian Yazid, peneliti Transparency International Indonesia (TII), mengatakan, kasus ini merupakan korupsi yang dilakukan bersama-sama dan sistematis. Diduga, masih banyak pihak terlibat, namun belum diumumkan.

“Biar tambang ilegal beroperasi, bermain dengan oknum penegak hukum,” katanya.

Dia pun meminta, agar aparat penegak hukum tak pandang bulu dalam menangani kasus ini. Semua pihak yang menikmati aliran dana haram ini, katanya, harus diringkus.

“Beneficial ownership (penerima manfaat) dikejar, siapa sih, apalagi yang ngusulin kerja sama dengan PT Timah itu.” [mongabay]

*

Baca Juga

deras.co.id

Pengerjaan Proyek Multiyears Rp 2,7 Triliun Di Karo Belum Tuntas

DERAS.CO.ID – Karo – Pengerjaan proyek multiyears Rp 2,7 triliun di Kabupaten Karo meliputi jalan …