DERAS.CO.ID – Jakarta – Ketua Komite TPPU sekaligus Menko Polhukam Mahfud Md terlibat debat panas saat menghadiri rapat Komisi III DPR membahas transaksi janggal Rp 349 triliun. Mahfud, di akhir pemaparannya, menyampaikan permintaan maaf karena keras terhadap para anggota DPR saat memberikan paparan.
“Bapak, saya meminta maaf kalau tadi ada yang agak keras,” kata Mahfud Md dalam rapat di ruang Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3).
Mahfud menegaskan dia punya alasan bersikap keras dalam rapat Komisi III DPR. Mahfud mengaku hanya membalas tone anggota DPR yang juga keras terhadapnya.
Meski demikian, Mahfud kini mengajak anggota DPR menjalankan rapat dengan baik-baik saja. Mahfud menegaskan tujuan rapat kali ini ialah mencari kebenaran soal transaksi janggal Rp 349 triliun.
“Karena sebenarnya saya sejak awal mengatakan, saya kan melayani dengan tone yang sama dan tadi sudah dengan tone yang sama saya lakukan,” kata Mahfud Md.
“Yang sekarang mari kita baik-baik saja karena ini mencari kebenaran,” ujarnya.
SOAL COPET HINGGA MARKUS
Dalam rapat tersebut, Mahfud Md menegaskan posisi pemerintah dan DPR setara. Mahfud meminta DPR tidak memeriksanya seperti pemeriksaan copet.
“Tidak boleh ada yang satu menuding yang lain seperti polisi memeriksa copet. Pemerintah bisa melakukan itu. Oleh sebab itu, mari kita setara aja saling buka,” kata Mahfud.
Mahfud juga menyinggung DPR yang menurutnya aneh. DPR, menurut Mahfud, marah-marah, namun ujung-ujungnya makelar kasus atau markus.
“Karena sering di DPR ini aneh, kadang marah-marah gitu, nggak tahunya markus dia,” ujar Mahfud.
Mahfud mengatakan pernah ada anggota DPR yang marah-marah saat rapat dengan Jaksa Agung. Namun, menurut dia, anggota DPR itu kemudian datang dan menitip suatu kasus ke Kejagung.
“Marah ke Jaksa Agung, uwa uwa uwa gitu, nantinya datang ke kantor Kejaksaan Agung nitip kasus,” ujar Mahfud.
KOMPAK PROTES
Ucapan Mahfud itu langsung diprotes ramai-ramai oleh legislator di Komisi III DPR.
Rapat itu dipenuhi interupsi sejak awal. Pimpinan rapat, Ahmad Sahroni, pun berulang kali meminta semua pihak yang mengikuti rapat fokus dan memberikan waktu kepada Mahfud untuk bicara.
Ucapan Mahfud langsung dihujani interupsi para anggota DPR. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, salah satu legislator yang protes, meminta Mahfud menyebutkan nama anggota DPR yang menjadi markus tersebut.
“Kalau benar ada, sampaikan sekarang. Sampaikan saja,” ujar Habiburokhman, yang juga Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Mahfud kemudian bercerita tentang peristiwa dari 2002. Dia menyebut Jaksa Agung saat itu dicecar habis-habisan di rapat, namun ada anggota DPR yang belakangan menitip kasus.
Habiburokhman kemudian bertanya lagi kepada Mahfud apakah ada anggota DPR di periode saat ini yang menjadi markus. Mahfud tak mau menjawabnya.
“Bukan di periode ini? Oh, bukan kewenangan saya,” ujar Habiburokhman.
“Lihat fenomenanya,” kata Mahfud.
“Di periode ini ada nggak?” tanya Habiburokhman lagi.
“Saya tidak akan sebut itu,” ujar Mahfud.
Hujan interupsi mulanya dipantik lantaran Menkeu Sri Mulyani tak hadir, padahal sudah diundang oleh pihak Komisi III DPR.
“Saya ingin mengklarifikasi dulu karena tidak hadir,” kata Habiburokhman.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni yang memimpin rapat menjelaskan bahwa Sri Mulyani tak hadir karena ada undangan acara lain. Jika dimungkinkan, Sri Mulyani akan diundang dalam rapat lanjutan.
JANGAN GERTAK
Mahfud meminta para legislator untuk tidak menggertak.
“Jangan gertak-gertak, saya bisa gertak juga saudara, bisa dihukum menghalang-halangi penyidikan penegakan hukum, iya, dan ini sudah ada dihukum 7,5 tahun, namanya Fredrich Yunadi,” ucap Mahfud saat rapat.
“Ya kerja kerja kayak saudara gitu, orang mau mengungkap dihantam, mau mengungkap dihantam, iya kan. Saya bisa, saudara menghalang-halangi penegakan hukum,” imbuhnya.
Fredrich Yunadi dulu merupakan pengacara dari Setya Novanto yang dulu menjadi Ketua DPR. Kala itu Setya Novanto menjadi tersangka di KPK.
“Masih ada itu, sama saudara kan kerjanya dengan saudara kan Fredrich Yunadi melindungi Setya Novanto kan, nggak boleh ini, lalu laporkan orang sembarang dilaporin sama dia, kita bilang ke KPK itu menghalang-halangi penyidikan, menghalang-halangi penegakan hukum, tangkap,” kata Mahfud.
“Jadi jangan main ancam-ancam begitu, kita ini sama saudara,” imbuhnya.
ANGKANYA BEDA
Mahfud Md menjelaskan, data agregat transaksi janggal senilai Rp 349 triliun menyangkut Kemenkeu. Mahfud menunjukkan data agregat dugaan TPPU kurun 2009-2023 ke dalam tiga kelompok.
Mahfud mulainya meluruskan nilai Rp 3 triliun di Kemenkeu yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani.
“Data agregat, transaksi keuangan. Keuangan yang Rp 349 T itu dibagi ke dalam 3 kelompok: 1. Transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu, kemarin ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 T, yang benar Rp 35 triliun, nanti ada datanya,” kata Mahfud.
Kelompok kedua adalah transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, itu besarnya Rp 53 T.
“Itu besarnya Rp 53 T plus sekian, kemudian (poin 3), transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik TPA (tindak pidana asal) dan TPPU yang belum diperoleh data sebesar Rp 260,5 T,” ujar Mahfud.
“Sehingga jumlahnya Rp 349 T fix, nanti kita tunjukkan suratnya,” ungkap Mahfud.
Berikut ini data agregat yang disampaikan Mahfud Md:
1. Transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu Rp 35.548.999.231.280
2. Transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, Rp 53.821.874.839.401
3. Transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik TPA (tindak pidana asal) dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu Rp 260.503.313.432.306
Menkeu Sri Mulyani sebelumnya mengungkap detail angka Rp 349 triliun yang belakangan membuat kehebohan. Menurut Sri Mulyani, angka itu tidak semuanya berhubungan dengan Kemenkeu.
Mahfud menyebut, laporan PPATK terkait dugaan TPPU di Kemenkeu sudah diserahkan sejak 2017. Laporan itu, sebut Mahfud, tiga tahun tak sampai-sampai ke tangan Menkeu Sri Mulyani hingga 2020.
“Saya ingin menjelaskan fakta bahwa ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah,” kata Mahfud .
“Sehingga apa yang beliau jelaskan tadi itu adalah data yang diterima dari tanggal 14, ketika bertemu dengan Pak Ivan (Ketua PPATK),” imbuhnya.
Mahfud mengungkapkan awal mula Sri Mulyani mendalami dugaan TPPU sebesar Rp 189 triliun di Kemenkeu ini. Mahfud mengatakan laporan PPATK itu mandek di jajaran pejabat eselon di Kemenkeu.
“Yang semula ketika ditanya oleh Ibu Sri itu, ‘Ini apa kok ada uang 189?’. Itu pejabat tingginya yang eselon I, ‘Oh, ndak ada, Bu, di sini. Ndak pernah ada’. ‘Ini yang tahun 2020’. Ada Pak Ivan di situ, ‘Loh, ada’. Baru dia ‘Oh nanti dicari. Baru dia’,” ujar Mahfud menirukan percakapan Sri Mulyani, pejabat Kemenkeu, dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana.
Mahfud mengatakan, dugaan TPPU cukai Rp 189 triliun ini terkait 15 entitas. Mahfud membeberkan pemeriksaan PPATK terkait dugaan TPPU cukai impor emas.
“Dan itu menyangkut 189, dan itu adalah dugaan TPPU cukai dengan 15 entitas, tapi laporannya menjadi pajak. Padahal ini cukai. Apa itu? Emas,” ujarnya.
“Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah. Diperiksa oleh PPATK. Kan itu emas jadi kok dibilang emas mentah. ‘Ndak. Ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya’. Dicari ke Surabaya tapi nggak ada pabriknya. Dan itu menyangkut uang miliaran. Ndak diperiksa,” katanya.
Laporan PPATK ini, menurut Mahfud, sudah diserahkan ke Kemenkeu sejak 2017. Laporan ini diterima Kemenkeu yang diwakili oleh sejumlah pejabat eselon I.
“Laporan itu diberikan tahun 2017 oleh PPATK. Bukan 2020. Tahun 2017 diberikan tidak pakai surat tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu, dan dua orang lainnya. Kenapa nggak pakai surat, karena ini sensitif, masalah besar,” katanya.
Namun, lanjut Mahfud, laporan ini ternyata tak sampai ke tangan Sri Mulyani hingga 2020.
“Dua tahun nggak muncul. Tahun 2020, dikirim lagi, ndak sampai juga ke Bu Sri Mulyani sehingga bertanya ketika kami kasih itu. Dan ini dijelaskan, yang salah, gimana salahnya nanti,” lanjut Mahfud.
BEDA MENAFSIRKAN
Mahfud menegaskan, bila data yang dipaparkannya sama dengan data milik Menkeu. Namun menurut Mahfud, cara menafsirkan yang berbeda.
“Saudara, data ini clear valid tinggal pertemuan saja dengan Bu Sri Mulyani, nggak ada data yang beda,” ucap Mahfud.
“Cuma Bu Sri Mulyani itu menerangkannya begini, kalau PPATK itu kan rombongan, misalnya Rafael itu kan ada rombongannya, ketika diperiksa Ibu Sri Mulyani 1 yang diambil, sama dengan ini tadi, jadi ini rombongan, namanya pencucian uang kalau nggak banyak ya bukan pencucian uang namanya, kalau 1 korupsi, tapi pencucian uang lebih banyak di belakangnya itu lho,” imbuhnya.
Mahfud bahkan mempersilakan bila memang DPR ingin menggelar pansus. Dia menyebut bila data Sri Mulyani sama hanya cara penafsiran yang berbeda.
“Saudara, saudara buka nanti, mau pansus buka nanti ada nama-nama orang 491 orang apa kasusnya, itu kan ada LHA-nya, ada di situ maka bagi saya gampang kok masalah ini, undang Sri Mulyani, cocokkan hanya beda menafsirkan,” kata Mahfud.
“Nggak ada yang berbeda, menafsirkannya yang beda, nanti lihat saja,” imbuhnya.
ANCAM PERKARAKAN
Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, mengancam memperkarakan Mahfud Md secara hukum. Bila tidak ingin diperkarakan, Mahfud dimintanya mencabut pernyataan soal anggota DPR ‘markus’.
“Tadi Prof (Mahfud Md) begitu keras, (Mahfud bilang) DPR itu keras padahal Markus minta proyek,” kata Arteria dalam rapat di Komisi III DPR itu.
Arteria lantas meminta agar pernyataan Mahfud ini ditarik kembali oleh Mahfud sendiri. Soalnya, pernyataan Mahfud membuat publik menilai anggota DPR sebagai ‘markus’ semua.
“Saya minta Prof cabut,” kata Arteria.
Dia menjelaskan bahwa dia pribadi sebenarnya tidak ingin menjadi anggota DPR, namun kini dia ingin menjadi anggota DPR yang baik. Namun, persepsi publik bisa buruk gara-gara ucapan Mahfud soal ‘markus’.
“Saya minta ini Prof (Mahfud) cabut, atau nanti saya juga perkarakan ini,” kata Arteria.
‘Markus’ biasa menjadi singkatan populer dari ‘makelar kasus’.
TAK AKAN CABUT
Mahfud meluruskan soal pernyataan soal anggota DPR RI ‘markus’ alias makelar kasus. Mahfud menyebut soal DPR ‘markus’ tersebut berdasarkan peristiwa anggota DPR RI periode beberapa tahun yang lalu.
Mahfud tegas menolak menyebutkan karena dapat diperkarakan.
“Nggak, nggak, begitu bodoh saya menyebut, jadi perkara juga. Sudahlah nantikan ada penegakan hukum. Kan tadi saya bilang dulu,” imbuhnya.
Sumber: hariansib.com